Oleh Tarlen Handayani dan Aksara
Setiap hari,
sampah yang Anda buang ke tempat sampah diangkut petugas ke dalam truk,
lalu dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tetapi jika sampah itu Anda
berikan kepada Dodong Kodir, maka dia akan menyulapnya menjadi sesuatu
yang menakjubkan.
Misalnya kecapi yang terbuat dari tabung bekas
mesin cuci yang dipasangi senar. Atau bekas pulpen yang bisa
menghasilkan suara gemuruh angin beserta petir juga air bah. Atau
potongan kayu lapuk dan kulit buaya yang mampu menjelma jadi banjo.
Dodong
Kodir, 60 tahun, mulai membuat alat musik dari sampah sejak tahun
1980-an. Ceritanya agak mistis. Alkisah, Dodong sedang mutung karena
pemain gamelan lain datang terlambat ke kampus Akademi Seni Tari
Indonesia (kini STSI). Saat itulah sebuah gong seolah-olah berbicara.
“Bisa saja kamu bicara ke orang lain. Kamu sendiri sudah bikin apa?”
kata gong itu.
Pertanyaan itu membangunkan Dodong dari tidur
panjang. Dia bertekad menciptakan alat musik buatan sendiri. Karya
pertamanya seruling Sunda. “Saya menemukan bambu besar bekas tangga,
saya bawa ke tukang suling,” katanya. Sempat dimarahi karena dianggap
gila, akhirnya keinginan Dodong dipenuhi oleh tukang suling.
Setelah
jadi, seruling besar itu malah sulit ditiup. Maklum, terbuat dari bambu
sebesar kaki orang dewasa. “Bikin saya sesak napas,” kata Dodong.
Suling yang diberi nama Sulangsong (singkatan suling asal songsong)
kerap dibawanya ke STSI tanpa pernah dimainkan, hanya jadi bahan
tertawaan.
Seruling besar itu akhirnya bermanfaat ketika suatu
hari ada pagelaran di STSI yang membutuhkan efek suara. Sejak saat itu,
Dodong ditempatkan sebagai penata efek suara bagi koreografer, seniman
teater dan musisi di berbagai pertunjukan. Untuk suara “tek-tek”,
misalnya, dia memukul-mukulkan batu. “Itu cikal-bakal nakal saya,”
katanya mengenang.
Merambah mancanegara
Sosok lelaki kelahiran
Tasikmalaya, 8 November 1951 ini masih terlihat ajeg dan segar. Rambut
keritingnya dipelihara memanjang. Saat tampil bersama grupnya Lungsuran
Daun, Dodong suka memakai pakaian hitam-hitam.
Lewat alat musik
yang terbuat dari sampah, Dodong melanglang buana. Sejak 1996 dia kerap
manggung di luar negeri, juga diundang bicara berkat ketekunannya
memperlakukan sampah. Beberapa negara yang pernah dia kunjungi antara
lain Denmark, Jepang, Belgia, Yunani, Prancis, dan Amerika Serikat.
Sulangsong
bahkan menjadi intro orkestra bagi konser 100 tahun Mozart “La Flute
Enchantee” yang diselenggarakan UNESCO di Prancis tahun 2006.
Festival
internasional semacam Copenhagen Cultural, International Puppet &
Mime Festival di Yunani dan Cyprus dan festival internasional lainnya
pernah ia sambangi. Beberapa karyanya diparkir di museum luar negeri
seperti di Madrid, Spanyol.
Tak hanya pentas dan pameran,
kemampuan Dodong menghasilkan alat-alat musik ‘ajaib’ pun membuatnya
bisa bersahabat dengan musisi world music dunia seperti Vidal Paz dari
Spanyol, Mohammed Haddad (pemain alat petik oud, Bahrain), Kamil
Tchalawep (pemain kontrabas, Ukraina), Yuan Chun (pemain suling, Cina)
dan Sebastian Obrecht (penyanyi tenor, Prancis).
Menurut Dodong,
kedatangannya ke sejumlah acara baik di dalam maupun luar negeri membawa
misi penyelamatan lingkungan. “Saya bukan tukang sampah. Tapi ayo
bersama-sama peduli limbah,” katanya.
Dia bercita-cita kelak bisa mendirikan museum yang berisi alat-alat musik ciptaannya. “Jika suatu saat
bunyi-bunyian
binatang hilang, saya masih ada buktinya. Anak-anak nanti tahu, Oh dulu
pernah ada monyet, kodok, singa,” katanya.
Dari Bassdong hingga Tornadong
Ketika
bertugas sebagai penata efek suara di STSI, Dodong terpicu menghasilkan
alat-alat baru dari lingkungan sekitar. Dia kerap memunguti,
mengumpulkan dan menerima benda-benda yang sudah rusak. “Bagi saya nggak
ada alat yang gagal,” katanya.
Langkah pertama membuat alat
musik dari sampah adalah menerapkan prinsip awal bunyi apa yang dia
inginkan. Tugas selanjutnya, mencari bunyi tersebut dengan mengawinkan
berbagai sampah yang ada. Ini tugas yang tidak terlalu sulit, katanya,
“Karena hati saya lapar pada bunyi.”
Dodong justru merasa sulit
bila satu jenis barang “belum menemukan jodohnya.” Untuk kasus seperti
ini, biasanya dia bakal membiarkan barang itu teronggok di ruang tamu
atau gudang. Jika jodoh sudah ketemu, barulah proses perakitan dimulai.
“Saya
pakai apa saja, nggak punya alat perkakas. Kalau mau melubangi suling
saya pakai gunting,” katanya. Untuk satu alat tak butuh biaya yang
besar. Komponen biaya paling tinggi justru untuk membeli lem karet dan
spon bekas.
Jajaran kreasi alat musik dari sampah bikinan Dodong pun bertambah.
Dengan
sentuhan Dodong, pisau cukur bekas dan tutup deodoran dapat
menghasilkan suara cicak, kodok, dan tokek. Wadah bekas mi dan bekas
parsel (yang ditemukannya di Sungai Cikapundung) dia kawinkan menjadi
alat mirip pancingan ikan. Ketika senar di ujung dipukul, muncullah
suara efek serangga di hutan. Siapa pun yang mendengar pasti takjub.
Ada
pula Banyu, tombak dan kaleng susu bekas yang menghasilkan efek suara
gemuruh angin. Lalu ada Sagara, yakni bingkai lukisan, cangkang jam
dinding, dan komponen rantai sepeda yang menghasilkan suara deburan
ombak. Seru!
Macam-macam sampah, macam-macam efek suara. Mulai
dari suara pesawat jet, lokomotif, binatang, suasana, hingga alat musik
modern. Alat musik mana yang dianggap temuan paling top? Dia menyebut
Banyu (yang terinspirasi dari Tsunami Aceh 2004) dan Tornadong
(terinspirasi Situ Gintung).
Tornadong sendiri alat musik dari
buah walung kering, ditutup fiber tipis, untuk membunyikannya per yang
menjuntai dari dalam digoyangkan, hasilnya gemuruh angin tornado dan
suara petir. “Itu ibarat temuan kejutan buat saya,” katanya.
Nama-nama
alat musiknya sendiri cenderung asal-asalan. Kebanyakan dinamakan
spontan. Tapi rata-rata merujuk pada namanya. Seperti Alpedong (alat
peting Dodong), Bassdong (Bass Dodong).
Dodong belum mematenkan
satu pun karyanya. Dia mengaku tidak mau repot membuang waktu mengurus
paten karena itu bukan prioritas utama. Dia pun tidak menjual alat musik
bikinannya.
“Bagi saya nilai sejarah suatu alat itu penting. Kalau saya jual, belum tentu saya akan punya dua kali alat itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar