Seekor kupu-kupu terbang melintasi seorang gadis berkacamata, kemudian mengibas-ngibaskan sayapnya yang anggun di atas bunga-bunga taman, lalu mendarat di salah satu bunga yang baru saja mekar. Kupu-kupu itu sangat anggun seanggun gadis berkacamata yang baru saja dilewatinya. Anggun dan pesonanya mengalihkan semua pandangan ke arahnya. Tiap aku berbicara soal kupu-kupu bersayap anggun, pasti selalu kukaitkan dengan seorang gadis berkacamata. Selain sama-sama memiliki pesona, entah ada hubungan apa antara kupu-kupu bersayap anggun dengan si gadis berkacamata.
Atau mungkin saja dia adalah jelmaan dari
kupu-kupu anggun itu.. Entah dari mana datangnya pikiran anehku yang
benar-benar di luar logika manusia biasa. Mungkin, karena pada kenyataannya
semakin canggih zaman tidak mengurangi hal-hal yang mistis di dunia ini. Gadis
berkacamata itu pergi menyusuri labirin bagai ditelan rongga lorong gedung
kampus. Kupu-kupu bersayap anggun pun mengibas-ngibaskan sayapnya lalu melayap,
meliuk-liuk di atas bunga-bunga mekar kemudian menghilang. Ajaib! Gadis berkacamata
datang dan menghilang secara bersamaan dengan kupu-kupu bersayap cantik.
Dalam
ruang kelas, kulihat gadis berkacamata duduk dengan manis semanis senyumannya.
Jemarinya bagai menari saat ia membuka buku catatan kuliah. Sambil kuintip isi
bukunya lembar demi lembar sampai pada lembar perhentian. Oh, Gambar itu!
Sebuah gambar sketsa yang ada dalam buku
si gadis berkacamata adalah gambar yang kukenal. Tidak salah lagi itu adalah
gambar sketsa si kupu-kupu cantik. Apakah dia pencinta kupu-kupu sama seperti
aku, atau bahkan lebih? Mungkin saja gambar itu hanya goresan iseng dari pena
saat penat melandanya. Tapi, ataukah benar pikiranku sebelumnya soal gadis itu
adalah jelmaan dari bangsa kupu-kupu? Pikiran kanak-kanakku masih saja masih
saja menempel dalam benak aku.
“Apa
kamu sedang melihat gambar ini?”
“Gambar
ini adalah diri aku.” Lanjut gadis berkacamata itu
Pernyataan
itu tiba-tiba membuat tubuhku tertegun. Menatap wajah gadis berkacamata itu,
mataku jadi berhenti berkelip. Mulutku yang beberapa saat tadi membisu akhirnya
bersuara, “Jadi, kamu benar-benar jelma’an dari kupu-kupu anggunitu?”
“Ah,
kamu ngaco ah. Bukan itu maksudku.” Sahut gadis berkacamata itu dengan nada sedikit memelas. Kemudian Ia
melanjutkan . “Maksudku, aku ini ibaratkan kupu-kupu ini . Kupu-kupu yang
cantik, lincah bagai menari di atas bunga-bunga indah seindah warna yang
menyelimuti tubuh dan sayapnya. Tapi, kamu lihat tubuhnya, sayapnya. Tipis dan
rapuh. Jika tidak hati-hati ia bisa mati di tangan kita.”
Aku
terdiam sejenak menyelami makna kata-perkata yang terlontar dari bibir mungil
si gadis berkacamata. Kemudian bisa kupahami.
“Adakah
kau melihat aku pernah menangkap kupu-kupu anggun itu dengan tanganku?Tapi
seingat aku, aku tidak pernah menyakiti kupu-kupu itu. Justru aku melakukannya
aku kagum akan keindahannya. ”
“Aku
tahu kamu tidak pernah menyakiti kupu-kupu itu. Walaupun kupu-kupu itu kamu
tangkap tapi kamu sangat menyayanginya, seperti kamu menyayangi aku dengan
sepenuh hatimu. Itulah yang membuat aku bangga menjadi pacarmu.”
Selesai